BI Minta Bank Manfaatkan Pelonggaran Uang Muka KPR

BI Minta Bank Manfaatkan Pelonggaran Uang Muka KPR



Jakarta, Siaran Indoonesia -- Bank Indonesia (BI) meminta bank lebih giat memanfaatkan relaksasi aturan uang muka (down payment/DP) untuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Selama periode 2015-2016, BI tercatat telah dua kali memberikan insentif kelonggaran uang muka KPR.

Terakhir, berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 18/16/PBI/2016, rasio pinjaman terhadap nilai aset (loan to value/LTV) untuk kredit properti pertama maksimal 85 persen untuk rumah tapak dan 90 persen untuk rumah susun. Artinya, uang muka KPR turun dari 20 persen menjadi 15 persen dari total harga untuk rumah tapak dan 10 persen untuk rumah susun. AGEN TOGEL TERPERCAYA

Aturan ini berlaku bagi bank yang memiliki rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) KPR dan NPL total di bawah 5 persen. AGEN BOLA TERPERCAYA



Deputi Gubernur Senior Mirza Adityaswara mengungkapkan masih banyak bank yang belum memanfaatkan pelonggaran kebijakan LTV. Hal itu tercermin dari pertumbuhan kredit hunian yang trennya masih melambat.

"Kami mendorong supaya (bank) lebih optimis untuk memanfaatkan pelonggaran LTV yang sudah dilakukan," ujarnya di Gedung Sjaruddin Prawiranegara, Senin (2/4).

Sepanjang tahun lalu, penyaluran kredit ke sektor konstruksi hanya tumbuh 15,48 persen atau melambat dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 20,33 persen. Kemudian, sektor real estate hanya meningkat 5,67 persen dari sebelumnya 22,22 persen. PROMO DEPOSIT HARIAN



Sementara, kredit yang disalurkan bank untuk bisnis KPR tumbuh 10,53 persen. Sementara, secara umum, pertumbuhan kredit perbankan pada periode yang sama hanya tumbuh 8,24 persen.

Mirza memahami masih ada bank yang berupaya untuk memperbaiki rasio kredit bermasalah. Akibatnya, penyaluran kredit menjadi lebih selektif.

Kendati demikian, seiring perbaikan ekonomi yang dapat mendorong permintaan, bank bisa memanfaatkan pelonggaran uang muka bagi nasabahnya.



Senada dengan Mirza, Ketua Umum Real Estat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata juga menilai perbankan masih belum optimal dalam memanfaatkan pelonggaran LTV. Padahal, sektor properti terkairl dengan 174 sektor industri yang berkontribusi terhadap perekonomian.

"Sebaiknya bank nasional bisa melaksanakan itu (pelonggaran LTV) kalau sektor properti mau tumbuh. Bank memang harus menggunakan prinsip kehati-hatian, tetapi bank juga harus melihat dampaknya terhadap penyerapan tenaga kerja dan perekonomian," katanya.

Menurut Direktur PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Iman Nugroho Soeko, sebagai bank yang mayoritas kreditnya disalurkan untuk kredit perumahaan, relaksasi LTV tidak berpengaruh besar pada penyaluran kredit perseroan.



Pasalnya, mayoritas KPR yang disalurkan merupakan rumah subsidi. Selain itu, penyaluran KPR nonsubsidi sebagian besar juga untuk tipe rumah di bawah ketentuan LTV, yaitu kurang dari 70 meter persegi dan harga rumah yang relatif murah, yaitu di bawah Rp350 juta per unit.

"Mayoritas penyaluran KPR BTN tidak dipengaruhi relaksasi LTV," imbuh dia.

Namun demikian, tren penyaluran kredit perumahaan perseroan cukup positif. Tahun lalu, penyaluran kredit di sektor perumahan BTN mencapai Rp178,23 trliun atau tumbuh 21,14 persen secara tahunan. Sebagai pembanding, pada 2016, penyaluran kredit perumahaan perseroan hanya tumbuh 18,4 persen.



Ekonom BCA David Sumual mengungkapkan kebijakan LTV cenderung lebih efektif untuk menahan laju permintaan dibandingkan sebagai pendorong permintaan.

"Ketika diperketat, (LTV) akan efektif menahan laju. Namun, ketika diperlonggar seringkali tidak efektif terutama bila dilakukan ketika pelaku sudah kehabisan tenaga dan terhambat faktor-faktor lainnya," jelas Iman.

Karenanya, selain pelonggaran LTV, regulator juga harus mengeluarkan kebijakan pendukung lain, seperti deregulasi perizinan dan perpajakan.



Pembelian secara kredit sendiri masih menjadi pilihan pertama konsumen. Berdasarkan data BI, sepanjang 2017, sebesar 75,93 persen pembelian rumah dilakukan dengan memanfaatkan KPR atau menurun dari periode yang sama tahun sebelumnya, yakni 77,2 persen. Sementara, 16,8 persen dilakukan dengan tunai bertahap dan 7,3 persen dilakukan secara tunai.

Sementara, pengembang lebih memilih untuk mengandalkan sumber dana sendiri. Tahun lalu, 56,2 persen sumber dana pengembang berasal dari dana sendiri sedangkan sumber dana pinjaman bank hanya 27 persen.

Sisanya berasal dari nasabah, pinjaman institusi keuangan nonbank (IKNB) dan lainnya. Sebagai pembanding, pada 2016, porsi dana sendiri 50,8 persen. dan pinjaman bank 37,5 persen. 

Share this:

Posting Komentar

 
Copyright © siaranindoonesia. Designed by OddThemes
site hit counter