ANDAI SAJA UANG 574 MILIAR ITU TIDAK DI KORUPSI


ANDAI SAJA UANG 574 MILIAR ITU TIDAK DI KORUPSI !!!



SiaranIndonesia - Sesungguhnya, jika kita berpikir jernih, mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah memberikan begitu banyak pelajaran penting bagi bangsa ini. Ahok mengajari kita bagaimana seharusnya menjadi seorang pemimpin. Ahok mengajari kita bagaimana seharusnya seorang pemimpin bersikap dan bertindak. Ahok mengajari kita bahwa seorang pemimpin harus memberi teladan. Ahok juga mengajari kita bahwa menjadi pemimpin itu adalah untuk melayani bukan untuk dilayani.

 Ketika lazimnya kantor-kantor pemerintahan yang oleh sebagian besar masyarakat Indonesia masih dianggap sebagai sebuah tempat yang “keramat”, di Jakarta, Ahok mengubah balaikota menjadi tempat bagi rakyat untuk mengadu. Ahok menjadikan balaikota sebagai “rumah” bagi warga Jakarta yang ingin menyampaikan unek-uneknya kepada gubernurnya secara langsung. Tidak pakai perantara. Dengan cara demikian, Ahok akan dapat memberikan solusi yang tepat atas segala permasalahan warganya tersebut.

Atas kejujuran dan keteguhan hatinya itu, sudah beberapa kali Ahok dianugerahi sebagai tokoh anti-korupsi. Sebuah penghargaan yang teramat mahal bagi seorang pejabat negara saat ini. Ketika kesempatan untuk menabrak rambu-rambu yang ada, serta kesempatan bermain-main dengan APBD DKI Jakarta yang jumlahnya puluhan triliunan Rupiah itu begitu begitu terbuka, namun dia tidak melakukannya.

Alih-alih mencoba menilap uang rakyat, Ahok malah mengembalikan biaya penunjang operasional gubernur ke kas daerah yang sesungguhnya adalah haknya. Tidak hanya sekali, beberapa kali Ahok melakukakannya. Hingga hari ini, Ahok adalah satu-satunya gubernur di Indonesia yang melakukan hal demikian. Bukankah ini sebuah keteladanan yang masih teramat langka di negeri ini? Baca di sini.

Keteladanan seorang Ahok, berbanding terbalik dengan apa yang ditunjukkan oleh Setya Novanto. Politisi Partai Golkar yang terpilih menjadi ketua para wakil rakyat itu, semestinyalah memberikan teladan yang baik dengan berdiri di posisi terdepan untuk melawan para pemaling uang rakyat itu. Namun kenyataannya, bukan malah menjaga uang rakyat yang diwakilinya itu, Setya Novanto malah membiarkannya digerogoti oleh “para tikus-tikus” yang rakus itu.

Dan yang lebih parah lagi, dia (diduga) ikut berkomplot dengan para pelahap-pelahap itu. Ketua Partai Golkar itu disebut-sebut menjadi aktor utama dalam merancang proyek KTP elektronik senilai 5,9 triliun, yang 49 persen dari anggaran tersebut (Rp. 2,3 triliun lebih) akan dibagi-bagi ke sejumlah pihak, bersama Nazaruddin dan Anas Urbaningrum. Baca di sini.

Sesungguhnya, Setya Novanto memiliki latar belakang keluarga  dan ekonomi yang memilukan. Ketika masih duduk di bangku SD, ayah dan ibunya bercerai. Kenyataan ini membuat dia harus berjuang keras untuk menghadapi pahit getirnya hidup.

Hari-harinya berlalu dengan penuh perjuangan dan pergulatan. Hingga menamatkan kuliahnya pun, dia harus berjuang sendiri. Berbagai usaha dijalaninya. Mulai dari berjualan beras, usaha fotokopi, sales mobil, hingga menjadi supir pribadi. Dia jatuh dan bangkit hingga dia ada sebagaimana dia ada saat ini: hidup mapan dan mempunyai karir yang cukup cemerlang serta kedudukan sosial yang amat terhormat. Baca di sini.

Sesungguhnya, Setya Novanto memiliki latar belakang keluarga  dan ekonomi yang memilukan. Ketika masih duduk di bangku SD, ayah dan ibunya bercerai. Kenyataan ini membuat dia harus berjuang keras untuk menghadapi pahit getirnya hidup.

Hari-harinya berlalu dengan penuh perjuangan dan pergulatan. Hingga menamatkan kuliahnya pun, dia harus berjuang sendiri. Berbagai usaha dijalaninya. Mulai dari berjualan beras, usaha fotokopi, sales mobil, hingga menjadi supir pribadi. Dia jatuh dan bangkit hingga dia ada sebagaimana dia ada saat ini: hidup mapan dan mempunyai karir yang cukup cemerlang serta kedudukan sosial yang amat terhormat. Baca di sini.

Tetapi bak lupa kacang akan kulitnya, begitulah Setya Novanto kini. Politikus kelahiran Bandung, Jawa Barat itu tidak hanya sekali ini saja dihubung-hubungkan dengan beberapa kasus korupsi. Bahkan sudah berulang kali dia diundang oleh KPK untuk memberi klarifikasi atas beberapa kasus yang kerap menyeret namanya. Setya Novanto menjadi “tamu” setia lembaga anti-rasuah itu.

Bapak dari empat anak ini pernah menjadi salah satu saksi dalam persidangan kasus hak piutang PT. Bank Bali kepada  Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada tahun 2001 lalu. Dia juga pernah dianggap mengintervensi  kasus pembelian cessie Bank Tabungan Negara (BTN) oleh Victoria Securities International Corporation pada tahun 2015 lalu.

Setya Novanto juga beberapa kali berurusan dengan KPK. Sebut saja kasus suap  PON Riau tahun 2011 lalu yang menjerat Gubernur Riau Rusli Zainal yang juga merupakan politikus Golkar itu, hingga ruangannya pernah digeledah oleh penyidik KPK karena namanya dikaitkan-kaitkan dengan kasus suap tersebut. Akan tetapi dia lolos dari jeratan tersebut.

Pria yang telah dua kali menikah ini  juga pernah dipanggil oleh KPK sebagai saksi atas kasus suap MK, pernah diprores oleh MKD DPR atas kasus “Papa minta saham” yang membuat Presiden Jokowi berang karena namanya dibawa-bawa dalam kasus tersebut. Namun dari sejumlah kasus korupsi yang menyeret-nyeret namanya tersebut, Setya Novanto selalu bersih. Sehingga dia digelari “si Licin”, dan ada juga yang menyebutnya “The Untouchable” karena hampir tidak tersentuh oleh hukum. Baca di sini.

Namun, betapa pun licin dan tidak tersentuhnya seorang Setya Novanto, untuk kali ini, dia harus mengakui kehebatan dan kelihaian KPK karena telah berhasil mengungkap keterlibatannya dalam proyek KTP elektronik yang diduga menerima jatah senilai 574 miliar Rupiah. Jumlah yang begitu fantastis. Setengah triliun Rupiah lebih.

Apakah Setya Novanto sebegitu miskinnya sehingga harus (diduga) turut menggelapkan dana pengadaan KTP elektronik yang merugikan negara hingga Rp. 2,3 triliun itu? Bukankah sebagian besar penduduk di Nusa Tenggara Timur yang diwakilinya itu jauh lebih miskin darinya? Apakah dia jauh lebih menderita dari penduduk Nusa Tenggara Timur yang merupakan  provinsi termiskin ketiga di Indonesia itu?

Apakah Setya Novanto lebih tidak berpendidikan bila dibandingkan dengan anak-anak di Nusa Tenggara Timur yang terpaksa putus sekolah dan yang lebih dari 70 persen gedung sekolah di sana rusak berat? Apakah Setya Novanto jauh lebih menyedihkan hidupnya jika dibandingkan dengan masyarakat Nusa Tenggara Timur yang hanya untuk mandi saja harus bergumul?

Kalau jawabannya “Ya”, biarlah kita memaklumi tindakannya itu sekalipun itu melanggar hukum. Tetapi jika jawabannya “Tidak”, sungguh sebuah kebejatan, kejahatan, dan penghianatan serius terhadap para konstituennya, terhadap lembaga tempat dia mengabdi, terutama terhadap seluruh rakyat Indonesia. Kebejatannya itu mengakibatkan masih begitu banyaknya penduduk negeri ini yang hingga saat ini belum memiliki KTP elektronik karena ketiadaan blanko. Sungguh sangat tragis.

Sangat memilukan memang. Daerah Pemilihan (Dapil) II Nusa Tenggara Timur, Dapil yang meloloskan dirinya untuk duduk manis di Senayan hingga tiga periode berturut-turut tanpa putus, yang meliputi wilayah Pulau Timur, Rote, Sabu dan Sumba, yang berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 131 tahun 2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015 – 2019, tergolong dalam kabupaten tertinggal dari 122 daerah tertinggal di Indonesia. Baca di sini. 

Seandainya 574 miliar Rupiah yang (diduga) dikorupsi tersebut dipergunakan untuk biaya pembangunan di NTT, maka Pemerintah Provinsi NTT tidak akan kebingungan lagi mencari dana untuk membangun 40 unit gedung SMA dan SMK baru yang masih dibutuhkan sekarang. Lewat pembagunan gedung-gedung sekolah baru tersebut, diharapkan akan lahir generasi-generasi handal, generasi-generasi hebat, generasi-generasi yang akan menggantikan para generasi tua yang ada sekarang.

Seandainya 574 miliar Rupiah yang (diduga) dikorupsi tersebut dipergunakan untuk merehab sekitar 70 persen (7.129 sekolah termasuk SD, SMP, SMA/SMK) yang rusak, mulai dari rusak ringan, sedang hingga rusak berat di NTT, maka hampir setengah dari jumlah sekolah tersebut akan kembali berfungsi dengan baik. Sehingga para anak didik akan lebih merasa aman dan nyaman dalam menuntut ilmu yang akan menjadi bekal masa depan bangsa ini. Baca di sini.

Seandainya 574 miliar Rupiah yang (diduga) dikorupsi tersebut dipergunakan untuk perbaikan jalan di Provinsi NTT, maka desa-desa, yang hingga 72 tahun Indonesia merdeka, masih terisolasi karena akses jalan yang diperkirakan sekitar 500 kilometer belum dibangun, akan turut merasakan kemerdekaan yang sudah sejak lama dinikmati oleh Setya Novanto dan keluarganya. Baca di sini.

Seandainya 574 miliar Rupiah yang (diduga) dikorupsi tersebut diperuntukkan untuk mengatasi masalah sosial dan ekonomi di NTT, maka akan dapat menurunkan jumlah penderita kelaparan dan gizi buruk yang dialami oleh saudara-saudara kita di sana, oleh karena kekeringan yang melanda yang mengakibatkan menurunnya produksi pertanian. Dengan uang setengah triliun lebih tersebut, dapat dimanfaatkan untuk membangun bendungan-bendunga dan fasilitas pertanian. sehingga ketika kekeringan melanda sawah-sawah di sana akan tetap terairi yang pada akhirnya dapat meningkatkan produksi pertanian.

Memang begitulah kekuasaan. Jauh-jauh hari Abraham Lincoln yang juga kerap dikutip oleh Ahok itu telah berkata: “Hampir semua orang bisa menghadapi kesengsaraan, tetapi jika Anda ingin menguji karakter seseorang, beri dia kekuasaan.” Dan apa yang kita saksikan saat ini adalah sebagai bukti bahwa apa yang disampaikan Lincoln berpuluh-puluh tahun lalu masih tetap “up to date”. Kekuasaan yang dipercayakan kepada Setya Novanto membuat kita tahu karakter dia yang sesungguhnya. Karakternya sudah diuji, dan hasilnya belum teruji.

Share this:

Posting Komentar

 
Copyright © siaranindoonesia. Designed by OddThemes
site hit counter